Langsung ke konten utama

Pola Pergerakan dan Dekonsentrasi Pekerjaan di Kawasan Metropolitan: Studi Kasus Pekerja Industri Cikarang


Abstrak


Tumbuh dan berkembangnya kawasan industri di wilayah pinggiran metropolitan Jabodetabek berimplikasi pada peningkatan jumlah pekerja yang cukup besar. Mereka melakukan pergerakan harian dari tempat tinggal menuju lokasi pekerjaan secara kontinu. Kecenderungan pergerakan bekerja yang terjadi selama ini merupakan pergerakan yang terkonsentrasi menuju ke kota inti Jakarta. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pola perge- rakaran harian pekerja industri di wilayah pinggiran metropolitan Jabodetabek, yakni kawasan-kawasan industri di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pergerakan harian pekerja-pekerja tidak hanya berasal dari sekitar kawasan industri di Cikarang, tetapi juga berasal dari kota Inti Jakarta dan wilayah pinggiran metropolitan lainnya. Orientasi pergerakan bekerja tidak lagi hanya menuju kota inti, tetapi mulai bergeser ke pusat-pusat pekerjaan baru di wilayah pinggiran. Hal ini menunjukkan indikasi dekonsentrasi peker- jaan telah terjadi di Cikarang, khususnya di sektor industri pengolahan. Karakteristik demografis dan sosial ekonomi turut menjadi penentu dalam menjelaskan pola pergerakan harian pekerja industri di kawasan-kawasan industri Cikarang.

Kata-kata Kunci: Pergerakan harian, suburbanisasi, dekonsentrasi pekerjaan, kawasan industri, Bekasi.



Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pola perge- rakan harian pekerja industri di wilayah pinggiran met- ropolitan Jabodetabek. Kecenderungan pergerakan bekerja yang terjadi selama ini merupakan pergerakan yang terkonsentrasi ke kota inti Jakarta. Seiring terjadinya perkembangan dan perluasan kegiatan hingga ke luar kota inti Jakarta (Firman & Dharmapat- ni, 1995), diduga telah terjadi dekonsentrasi pekerjaan. Dekonsetrasi tersebut dapat ditunjukkan dari pola pergerakan harian yang dilakukan oleh pekerja.

Perkembangan kegiatan industri di wilayah pinggiran merupakan salah satu bentuk perkembangan kegiatan di wilayah metropolitan Jabodetabek. Perkembangan kegiatan industri di wilayah pinggiran metropolitan menyebabkan terjadinya indikasi dekonsentrasi peker- jaan (Ingram, 1998). Perkembangan kegiatan ini erat kaitannya dengan perubahan struktur wilayah yang diakibatkan oleh perubahan pola pergerakan. Perubahan ini dikenal dengan Daily Urban System (DUS) (Van Der Laan, 1998). Konsep ini pertama kali diterapkan untuk menjelaskan perubahan struktur spasial di Belanda. Konsep ini menggambarkan bahwa dalam suatu wilayah metropolitan terdiri dari 2 elemen utama yaitu kota inti dan wilayah pinggiran di sekitar kota inti tersebut. Dalam konsep ini pergerakan (commuting) merupakan komponen yang sangat penting.

Pergerakan yang terjadi dalam konsep DUS dibagi menjadi 4 tahapan pergerakan (lihat Gambar 1). Jenis pergerakan pertama yaitu pergerakan yang berorientasi menuju kota inti. Semua aktivitas dilakukan di kota inti, baik penduduk yang tinggal di dalam wilayah kota inti maupun wilayah pinggiran. Jenis pergerakan kedua dicirikan dengan pergeseran orientasi pergerakan menuju wilayah pinggiran. Selain itu, pergerakan sesa- ma wilayah pinggiran juga dilakukan. Hal ini disebab- kan oleh kejenuhan aktivitas kota inti yang menyebab- kan pergeseran aktivitas ke wilayah pinggiran. Jenis pergerakan tahap ketiga pergerakan yang sifatnya man- diri, artinya pergerakan kota inti hanya terjadi dalam kota inti itu sendiri dan jangkauan pergerakan yang terjadi di wilayah pinggiran juga hanya terjadi pada sesama wilayah pinggiran. Masing-masing wilayah fungsional cenderung memenuhi kebutuhan penduduk dan beraktivitas dalam wilayah fungsional itu sendiri. Jenis pergerakan keempat, terjadi pergeseran orientasi pergerakan yang sifatnya berkebalikan dari orientasi aktivitas yang hanya menuju kota inti. Dalam tahapan ini dapat dilihat bahwa sebagian aktivitas yang terjadi di wilayah pinggiran mulai dikembalikan ke kota inti, dan sebagian aktivitas di kota inti juga dilakukan di wilayah pinggiran. Hal ini memacu pola pergerakan yang sifatnya berkebalikan (reverse).

Aguilera, dkk. (2009) melihat tahapan akhir transfor- masi perkembangan wilayah metropolitan melalui indi- kasi pergerakan yang berbalik arah (reverse). Perge- rakan yang awalnya berorientasi menuju kota inti saat ini mulai bergeser ke wilayah pinggiran metropolitan dan cakupan pergerakan aktivitas juga terjadi dari wila- yah pinggiran ke kota inti. Pergerakan ini salah satunya didorong oleh aktivitas pekerjaan yang lokasinya be- rada di wilayah pinggiran dan kota inti. Aktivitas bekerja di wilayah pinggiran ini terbentuk seiring perkembangan fungsi mandiri perkotaan baru yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan penduduknya.


Gambar 1. Konsep daily urban system
Sumber: :Van Der Laan (1998)

Indikasi dekonsentrasi juga terjadi di wilayah metro- politan Jabodetabek walaupun kemungkinan yang terjadi belum semua pekerja industri bekerja di wilayah pinggiran (Hudalah & Firman, 2012). Dalam kesehariannya, pekerja-pekerja tersebut melakukan pergerakan harian dari tempat tinggal menuju lokasi pekerjaan di wilayah pinggiran secara kontinu. Pola pergerakan harian (commuting) pekerja ini dilihat dari dimensi spasial pergerakan harian (Parnwell, 1993). Pergerakan yang diamati merupakan pergerakan beker- ja pekerja industri karena pergerakan ini memiliki intensitas yang tinggi dan rutin dilaksanakan. Perge- rakan bekerja juga merupakan salah satu indikator untuk melihat stuktur spasial suatu wilayah metropoli- tan (Shon, 2005).

Wilayah pinggiran yang menjadi studi kasus adalah Kawasan Industri di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Kabupaten Bekasi merupakan wilayah yang memiliki kontribusi terbesar di bidang industri Kabupaten Bekasi, khususnya pada sektor industri pengolahan, yaitu sebesar 78,21% ke total PDRB Kabupaten dengan laju pertumbuhan 7,42% (BPS Kabupaten Bekasi, 2010). Perkembangan Industri di Kabupaten Bekasi cukup pesat dengan didukung aksesibilitas dan sumber daya yang memadai dalam kegiatan industri. Perkem- bangan industri di Kabupaten Bekasi terpusat di Cika- rang dan sampai saat ini telah berdiri 7 kawasan indus- tri besar yang telah berdiri lama dan beraglomerasi dalam suatu kawasan perkotaan. Kawasan ini memiliki situasi yang kompleks dari perkembangan kegiatan di wilayah pinggiran, yakni pengembangan kawasan- kawasan industri skala besar yang disertai pengem- bangan fasilitas perkotaan dan permukiman beserta penyediaan fasilitas sosial oleh perusahaan-perusahaan pengembang di sekitarnya (Hudalah & Firman, 2012).

Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan karakteristik demografis dan sosial ekonomi yang berkaitan dengan pola pergerakan harian pekerja industri di Cikarang. Pola pergerakan harian yang dilakukan pekerja tidak terlepas dari karakteristik pekerja itu sendiri (Pas, 1984). Faktor-faktor yang mempengaruhi pola perge- rakan harian terdiri dari faktor sosial-demografis dan ekonomi, seperti usia, jenis kelamin, asal daerah, status perkawinan, pendidikan, jenis pekerjaan, ketersediaan fasilitas, dan jarak tempat tinggal (Tammaru, 2005). Punping (1993) meneliti di Bangkok, Thailand bahwa usia, jenis kelamin, jabatan, dan waktu yang dapat dihabiskan di lokasi tempat tinggal memiliki hubungan dengan lokasi pekerjaan. Dia juga menambahkan bah- wa usia dan status kepemilikan tempat tinggal memiliki keterkaitan dengan waktu untuk melakukan perjalanan, dan jarak perjalanan berhubungan dengan jabatan dan status kepemilikan tempat tinggal.

Clark, Huang, dan Withers (2003) lebih dalam melakukan studi yang membuktikan bahwa wanita melakukan pergerakan harian dalam jarak yang lebih pendek dibandingkan dengan laki-laki. Dalam studi yang dilakukan oleh Clark, Huang, dan Withers (2003), toleransi waktu perjalanan dan jarak menjadi pertimbangan dalam memutuskan lokasi tempat tinggal dan lokasi pekerjaan. Hal tersebut juga ditambahkan oleh Modarre (2011) yang menyatakan perilaku pergerakan harian tidak hanya dipengaruhi oleh faktor sosial dan demografis, tetapi juga dari lamanya aktivitas yang dilakukan di lokasi tujuan.

Ocakci (2000) menerangkan bahwa dalam aktivitas industri jenis industri dan tingkat profesionalitas atau kedudukan pekerja turut mempengaruhi pergerakan para pekerja industri. Hubungan lokasi tempat tinggal pekerja industri beserta lokasi pekerjaannya dijelas- kan melalui variabel jarak, durasi perjalanan dan moda transportasi yang digunakan oleh pekerja industri. Lee (1966) memandang pergerakan atau perpindahan dipengaruhi oleh 4 faktor, yakni faktor daerah asal, faktor daerah tujuan, faktor antara atau perjalanan, dan faktor personal.Berdasarkan studi- studi tersebut, karakteristik sosial demografi yang diteliti dalam kasus ini yaitu usia, jenis kelamin, sta- tus perkawinan, asal daerah/suku, tingkat pendidikan, pendapatan, status milik dan bentuk tempat tinggal, moda transportasi, jabatan, divisi, status dan lama kerja.

Dalam tulisan ini, bagian-bagian selanjutnya akan dipaparkan mengenai hipotesis pola pergerakan harian pekerja industri di Cikarang, data dan responden penelitian. Setelah itu, akan dipaparkan hasil temuan dan analisis pola pergerakan harian pekerja Industri. Bagian akhir tulisan ini berisi kes- impulan dan rekomendasi berdasarkan hasil temuan dan analisis pola pergerakan dari responden yang diperoleh.

Hipotesis Pola Pergerakan Harian Pekerja Industri di Cikarang

Beberapa dugaan pola pergerakan harian yang dilakukan oleh pekerja industri dari lokasi tempat tinggal menuju lokasi pekerjaan dapat dihipotesakan menjadi 5 pola, khususnya dalam cakupan wilayah metropolitan Jabodetabek.Hipotesis tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1.

Pendefinisian ini dilakukan dengan cara menerapkan dan menyesuaikan definisi tersebut ke dalam pemetaan spasial metropolitan hasil studi Maryono- putri (2010). Definisi spasial tersebut mempertim- bangkan jangkauan pergerakan dari skala yang kecil sampai skala metropolitan, dari pergerakan lokal dalam kawasan industri di Cikarang hingga perge- rakan dalam dan luar wilayah metropolitan Jabodetabek. Jenis pergerakan yang dibentuk ber- dasarkan Cikarang dinilai sebagai lokasi pekerjaan dan wilayah metropolitan lainnya sebagai lokasi tem- pat tinggal pekerja industri.


Dekonsentrasi pekerjaan pada masing-masing pola menunjukkan interpretasi yang berbeda. Pola perge- rakan lokal dalam Kawasan Industri Cikarang (Pola 1) menunjukkan adanya dualisme interpretasi terhadap dekonsentrasi. Pergerakan ini memunculkan dugaan bahwa lokasi tempat tinggal pekerja industri berada di sekitar kawasan perkotaan Cikarang. Status pekerja tersebut kemungkinan merupakan penduduk asli setem- pat kawasan perkotaan Cikarang dengan lokasi tempat tinggal berada di sekitar kawasan perkotaan Cikarang, atau merupakan penduduk yang melakukan migrasi masuk dan menetap. Dugaan lainnya yakni lokasi tem- pat tinggal berada di luar kawasan perkotaan Cikarang dan melakukan migrasi temporal ke kawasan perkotaan Cikarang. Pola pergerakan intradistrik dari Kabupaten Bekasi menuju kawasan industri Cikarang, atau sebaliknya (Pola 2) menunjukkan dugaan yang sejenis dengan pergerakan lokal kawasan perkotaan Cikarang (Pola 1). Status pekerja tersebut kemungkinan merupa- kan penduduk asli setempat Kabupaten Bekasi atau merupakan penduduk yang melakukan migrasi masuk dan menetap. Dugaan lainnya yakni lokasi tempat ting- gal berada di Kabupaten Bekasi dan melakukan migrasi temporal ke kawasan perkotaan Cikarang.

Pola pergerakan antardistrik dari kota Inti Jakarta dan perluasannya menuju kawasan industri Cikarang (Pola 3) menunjukkan orientasi pergerakan bekerja mulai bergeser ke wilayah pinggiran. Pola pergerakan antardistrik dari wilayah pinggiran lainnya menuju kawasan industri Cikarang, atau sebaliknya (Pola 4) juga menunjukkan hal yang demikian. Pola pergerakan antarregional dari luar wilayah metropolitan menuju kawasan industri Cikarang (Pola 5) menunjukkan Cika- rang berfungsi sebagai penarik migran dari luar.

Apabila hasil temuan menunjukkan pola pergerakan yang dilakukan oleh pekerja industri hanya pola lokal, intradistrik, dan antarregional (Pola 1, 2, dan 5), indi- kasi dekonsentrasi belum tentu terjadi. Fungsi Cikarang hanya berperan sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi penduduk asli maupun pendatang dan tidak memiliki kaitan langsung dengan dekonsentrasi dari Kota inti Jakarta di wilayah metropolitan Jakarta. Apabila pola pergerakan yang dilakukan oleh pekerja disertai dengan pola antardistrik baik dari kota Inti Jakarta maupun wilayah pinggiran lainnya (Pola 3 dan 4), kemungkinan indikasi dekonsentrasi telah terjadi karena orientasi pergerakan bekerja mulai bergeser dari kota inti Jakarta maupun wilayah pinggiran lainnya menuju wilayah pinggiran kawasan industri Cikarang.

Pergerakan antardistrik (Pola 3) merupakan responden pekerja yang lokasi tempat tinggalnya berada di Kota Inti Jakarta dan kota-kota perluasannya yang dalam studi ini ditemui pekerja yang berasal dari Kota Bekasi. Proporsi responden yang melakukan pola pergerakan ini sebesar 6,9%. Pekerja yang melakukan pergerakan antardistrik (Pola 4) merupakan pekerja yang tempat tinggalnya berada di kabupaten pinggiran metropolitan, dalam hasil studi ini pekerja tersebut berasal dari Kabupaten Bogor, yaitu sebesar 1,72%. Pekerja yang melakukan pergerakan antarregional (Pola 5) merupakan pekerja yang lokasi tempat tinggalnya berada di luar batasan metropolitan Jabodetabek, yakni Kabupaten Kara- wang. Proporsinya pekerja yang melakukan pola pergerakan ini sebesar 0,86%. Pekerja yang melakukan pergerakan antardistrik dan antarregional cenderung memilih tinggal di lokasi tersebut, sebagi- an memiliki alasan agar dekat dengan keluarga dan sebagian lagi dengan alasan fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan fasilitas yang tersedia di Kawasan Perkotaan Cikarang.

Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa lokasi tempat tinggal dan lokasi tempat bekerja pekerja, baik dalam maupun luar metropolitan dihubungkan oleh infrastruktur jalan. Ketersediaan infrastruktur ini kemung- kinan juga mendorong para pekerja bersedia melakukan perjalanan harian ke kawasan perkotaan Cikarang sekalipun tempat tinggal mereka berada di kabupaten wilayah pinggiran, atau bahkan di luar wilayah metropolitan Jabodetabek.

Pola pergerakan harian yang dilakukan pekerja mem- iliki keterkaitan dengan karakteristik demografis dan sosial ekonomi pekerja itu sendiri (Pas, 1984). Karak- teristik-karakteristik yang memiliki keterkaitan dengan pola pergerakan pekerja adalah usia, status milik dan bentuk tempat tinggal, jabatan dan status kerja (lihat Tabel 2).

Pola pergerakan lokal (Pola 1) cenderung dilakukan oleh pekerja dengan rentang usia 15-44 tahun dengan proporsi terbesar berada pada rentang usia 25-34 tahun. Hal demikian juga terjadi pada Pola perge- rakan intradistrik (Pola 2) dan antardistrik antara kota inti dan Cikarang (Pola 3). Pola pergerakan antardistrik antarwilayah pinggiran (Pola 4) cender- ung dilakukan oleh pekerja dengan usia yang lebih tua dengan rentang usia 25-44 tahun. Pola pergerakan antarregional antara wilayah pinggiran dengan wila- yah luar metropolitan Jabodetabek (Pola 5) cender- ung dilakukan pekerja dengan usia yang lebih tua dengan rentang usia 35-44 tahun. Hal ini menunjuk- kan Pekerja usia muda cenderung mendekati lokasi pekerjaan di Cikarang dan kelompok usia lebih tua cenderung bertempat tinggal di lokasi manapun.

Gambar 2. Pola pergerakan harian pekerja industri di Cikarang


Status tempat tinggal menentukan jarak dan jangkau- an perjalanan seseorang (Punpuing, 1993). Pekerja yang melakukan Pola pergerakan lokal dan intra- distrik (Pola 1 dan 2) tempat tinggalnya cenderung berbentuk kamar (kost-kostan) dengan status semen- tara, baik menyewa atau menumpang pada kerabat, walaupun juga ditemui pekerja dengan bentuk tempat tinggal rumah tinggal dengan status milik sendiri. Berbeda dengan pekerja yang melakukan pola perge- rakan antardistrik (Pola 3 dan 4) dan antarregional (Pola 5), tempat tinggalnya cenderung hanya berbentuk rumah tinggal dengan status milik sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja dengan status tempat tinggal sementara cenderung mendekati lokasi pekerjaan di Cikarang dan pekerja dengan status tem- pat tinggal tetap bertempat tinggal di lokasi mana- pun.

Ocakci (2000) menjelaskan tingkat profesionalitas atau kedudukan pekerja turut mempengaruhi perge- rakan para pekerja industri. Hal tersebut juga terjadi pada pola pergerakan pekerja industri di Cikarang. Pola pergerakan lokal dan intradistrik (Pola 1 dan 2) dilakukan pekerja dengan jabatan operator, leader, foreman, dan supervisor dengan dominasi pekerja dengan jabatan operator. Pola pergerakan antardistrik (Pola 3 dan 4) cenderung dilakukan oleh pekerja dengan jabatan yang lebih tinggi, seperti foreman dan supervisor, walaupun juga ditemui responden dengan jabatan operator. Pola pergerakan antarregional (Pola 5) yang ditemui merupakan pekerja dengan jabatan operator. Hal ini menunjukkan Pekerja dengan jabatan lebih tinggi melakukan pergerakan hampir pada setiap pola, sedangkan pekerja dengan jabatan lebih rendah cenderung melakukan pergerakan lokal dan pergerakan intradistrik, yang artinya lokasi tem- pat tinggalnya mendekati lokasi tempat bekerja. Dari status kerja, pekerja dengan status kontrak akan cenderung melakukan pola pergerakan lokal dan intradistrik (Pola 1 dan 2). Pekerja dengan status tetap melakukan semua pola pergerakan. Hal ini menunjukkan pekerja dengan status kerja yang masih sementara cenderung melakukan pergerakan lokal dan pergerakan intradistrik, yang artinya lokasi tem- pat tinggalnya mendekati lokasi tempat bekerja, sedangkan pekerja dengan status kerja tetap cenderung melakukan pola pergerakan dengan pola apapun.

Nilai Kontingensi Cramer pada Tabel 2 menunjuk- kan besar keterkaitan antara variabel karakteristik pekerja dengan pola pergerakan harian pekerja. Nilai kontingensi variabel-variabel yang memiliki keterkaitan dengan pola pergerakan cenderung lebih tinggi dibandingkan variabel-variabel yang tidak memiliki keterkaitan dengan pola pergerakan. Varia- bel yang tidak memiliki keterkaitan dengan pola pergerakan adalah jenis kelamin, suku/asal daerah, status perkawinan, tingkat pendidikan, pendapatan, divisi dan lama kerja. Dari jenis kelamin, responden yang ditemui sebagian besar merupakan responden laki-laki sehingga tidak terbentuk pola yang terkait dengan pergerakannya. Begitu pun yang terjadi pada suku/asal daerah. Pekerja industri yang ditemui meru- pakan pekerja yang berasal dari daerah manapun di Indonesia.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pas (1984), pendapatan dan status perkawinan pekerja industri di Cikarang tidak memiliki keterkaitan dengan pola pergerakannya. Karakteristik keluarga di Cikarang yang cenderung berpenghasilan tunggal dari kepala keluarga menjadi salah satu perbedaan dalam status perkawinan. Selain itu, pendapatan juga tidak mencerminkan jabatan pekerja karena pendapatan yang diterima pekerja cenderung bukan penghasilan yang hanya diterima dari upah bekerja di perusahaan industri, tetapi juga dari hasil sampingan, seperti berdagang. Divisi dan lama kerja tidak  mencerminkan pola pergerakan karena sebagian besar divisi pekerjaan adalah divisi produksi yang sesuai dengan karakteristik industri di Cikarang yang meru- pakan komponen produksi dari perusahaan industri. Lama kerja pun tidak mencerminkan pola pergerakan karena pekerja yang bekerja sudah cukup lama tidak otomatis status kerjanya tetap.

Kesimpulan

Dalam konsep Daily Urban System (DUS) Van Der Laan (1998), orientasi pergerakan dari kota inti dan wilayah pinggiran menuju wilayah ping- giran lainnya dalam kasus yang terjadi di Cikarang menunjukkan:

1)  Pola pergerakan yang dihasilkan menunjukkan bahwaindikasi dekonsentrasi telah terjadi. Semua pola pergerakan yang dihipotesakan terjadi dalam studi ini. Pola pergerakan yang terbentuk tidak hanya pola pergerakan lokal, antardistrik, dan antar regional, tetapi juga pergerakan antardistrik, baik yang dari kota inti maupun antarwilayah pinggiran.

2)  Cikarang tidak hanya berperan sebagai tarikan bagi pendatang dari luar metropolitan dan lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat, tetapi juga sebagai tarikan pergerakan bagi pekerja yang berasal dari kota inti dan wilayah pinggiran lainnya. Pergerakan yang berasal dari kota inti dan wilayah pinggiran lainnya menuju Cikarang menunjukkan dekonsentrasi pergerakan bekerja ke wilayah pinggiran telah terjadi. Hal ini menunjukkan orientasi perge- rakan bekerja tidak lagi hanya menuju kota inti, tetapi mulai bergeser ke pusat-pusat pekerjaan baru di wilayah pinggiran, khususnya kawasan industri.

3)  Dengan terjadinya dekonsentrasi di wilayah ping- giran, kawasan perkotaan Cikarang telah mampu mengurangi beban kota Jakarta, khususnya dalam peran menciptakan lapangan pekerjaan di sektor industri. Karakteristik demografis dan sosial ekonomi turut menjadi penentu dalam menjelaskan pola pergerakan harian pekerja industri. Dalam kasus di Cikarang, variabel usia, status dan bentuk tempat tinggal, serta jabatan dan status kerja memiliki keterkaitan dengan pola pergerakan pekerja industri. Pengetahuan mengenai karakteris- tik pekerja industri menjadi penting dalam pertimbangan penyediaan infrastruktur bagi pekerja industri di wilayah pinggiran.

4)  Studi ini tidak dapat merepresentasikan populasi dari pekerja industri di wilayah pinggiran karena kerangka sampel pekerja industri tidak bisa di- peroleh. Hasil studi ini tidak dapat menggambarkan sejauh mana dekonsentrasi di wilayah pinggiran telah terjadi. Penelitian ini hanya membuktikan indi- kasi terjadinya dekonsentrasi. Wilayah studi hanya dibatasi pada kasus Cikarang saja dan tidak dilakukan untuk skala metropolitan Jabodetabek secara keseluruhan. Penelitian ini cenderung menun- jukkan dekonsentasi pekerjaan di bidang industri saja bukan dekonsentrasi pekerjaan secara kese- luruhan karena objek penelitian ini adalah pekerja industri. Oleh karena itu, isu yang dapat menjadi pertimbangan penelitian selanjutnya dalam melihat gejala dekonsentrasi di wilayah pinggiran adalah studi mengenai pergerakan atau mobilitas penduduk dan aktivitasnya di wilayah pinggiran lainnya beserta faktor-faktor yang mempengaruhi perge- rakan tersebut; studi perbandingan fenomena perge- rakan dan mobilitas pekerja industri di wilayah pinggiran lainnya seperti kabupaten Tangerang atau kabupaten lainnya yang memiliki kegiatan industri dengan perkembangan cukup pesat; studi mobilitas pekerjaan di bidang selain industri di Kota inti Jakarta dan wilayah pinggiran, seperti bidang perdagangan dan jasa; studi mengenai dampak pergerakan pekerja dan penduduk di wilayah ping- giran metropolitan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

METODOLOGI Studi kasus ini dilakukan pada lokasi drainase yang sering terendam air ketikaintensitas hujan tinggi di jalan Tanjung 2 B. Dramaga, Bogor. Denah lokasi terdapat padagambar 1. Pengamatan terjadinya genangan air dilakukan pada saat hujan pada tanggal 10Mei 2013 pukul 16.00 – 18.30 WIB. Dalam rentang waktu tersebut, genangan dan luaswilayah yang terkenda banjir dapat dengan mudah diamati. Penelitian ini menggunakan alatdan bahan berupa kamera, seperangkat komputer, meteran dan data curah hujan KabupatenBogor minimal 10 tahun. Data curah hujan yang digunakan yaitu data curah hujan KabupatenBogor dari tahun 2002-2011 dari stasiun pengamatan Atang Sanjaya. Data tersebut cukuprepresentatif mengingat jarak dari stasiun Atang Sanjaya ke Dramaga berjarak 30 km. Untukmendesain saluran drainase, terlebih dahulu dihitung debit puncak yang mungkin terjadidalam periode ulang tertentu. Dalam penelitian ini, digunakan periode ulang 5 tahun. Periodeula...

OPTIMASI JUMLAH KENDARAAN DALAM MENGANTISIPASI KEMACETAN LALU LINTAS DI KALIMALANG DENGAN METODE SIMPLEKS

Latar Belakang Kalimalang adalah sebuah sungai yang menyuplai air ke PAM (Perusahaan Air Minum) untuk masyarakat kota Jakarta dan sekitarnya. Berjarak 20 kilometer berawal dari kawasan Cawang sampai Bekasi. Jalan Raya Kalimalang mulai dari Cawang Baru – Pondok Bambu – Cipinang Melayu – Pondok Kelapa – Lampiri – Transito – Sumber Arta – Jakapermai – Galaxy – Bumi Satria Kencana dan berakhir di Mall Metropolitan Bekasi. Sumber air baku Kalimalang ini berasal dari Waduk Jatiluhur Purwakarta, tepatnya berasal dari aliran Sungai Citarum. Adapun bagian hulu Sungai Kalimalang ini, berasal dari Bendungan Curug. Bendungan Curug terletak di Desa Curug Kecamatan Klari Kabupaten Karawang Jawa Barat. Istilah Kalimalang identik dengan jalan yang berada di samping kali atau sebuah sungai yang tidak lazim, umumnya bentuk sungai itu dari hulu sampai hilir, atau dari pegunungan menuju ke laut, tetapi Sungai Kalimalang ini bentuknya melintang dari waduk Jatiluhur Purwakarta tepatnya dari Be...

FUZZY LINEAR PROGRAMING UNTUK PEMILIHAN JENIS KENDARAAN DALAM MENGANTISIPASI KEMACETAN LALU LINTAS DI KALIMALANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1      Latar Belakang Kalimalang adalah sebuah sungai yang menyuplai air ke PAM (Perusahaan Air Minum) untuk masyarakat kota Jakarta dan sekitarnya. Berjarak 20 kilometer berawal dari kawasan Cawang sampai Bekasi. Jalan Raya Kalimalang mulai dari Cawang Baru – Pondok Bambu – Cipinang Melayu – Pondok Kelapa – Lampiri – Transito – Sumber Arta – Jakapermai – Galaxy – Bumi Satria Kencana dan berakhir di Mall Metropolitan Bekasi. Sumber air baku Kalimalang ini berasal dari Waduk Jatiluhur Purwakarta, tepatnya berasal dari aliran Sungai Citarum. Adapun bagian hulu Sungai Kalimalang ini, berasal dari Bendungan Curug. Bendungan Curug terletak di Desa Curug Kecamatan Klari Kabupaten Karawang Jawa Barat. Istilah Kalimalang identik dengan jalan yang berada di samping kali atau sebuah sungai yang tidak lazim, umumnya bentuk sungai itu dari hulu sampai hilir, atau dari pegunungan menuju ke laut, tetapi Sungai Kalimalang ini bentuknya melint...