Pola Pergerakan dan Dekonsentrasi Pekerjaan di Kawasan Metropolitan: Studi Kasus Pekerja Industri Cikarang
Tumbuh dan berkembangnya kawasan industri di wilayah pinggiran metropolitan Jabodetabek berimplikasi pada peningkatan jumlah pekerja yang cukup besar. Mereka melakukan pergerakan harian dari tempat tinggal menuju lokasi pekerjaan secara kontinu. Kecenderungan pergerakan bekerja yang terjadi selama ini merupakan pergerakan yang terkonsentrasi menuju ke kota inti Jakarta. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pola perge- rakaran harian pekerja industri di wilayah pinggiran metropolitan Jabodetabek, yakni kawasan-kawasan industri di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pergerakan harian pekerja-pekerja tidak hanya berasal dari sekitar kawasan industri di Cikarang, tetapi juga berasal dari kota Inti Jakarta dan wilayah pinggiran metropolitan lainnya. Orientasi pergerakan bekerja tidak lagi hanya menuju kota inti, tetapi mulai bergeser ke pusat-pusat pekerjaan baru di wilayah pinggiran. Hal ini menunjukkan indikasi dekonsentrasi peker- jaan telah terjadi di Cikarang, khususnya di sektor industri pengolahan. Karakteristik demografis dan sosial ekonomi turut menjadi penentu dalam menjelaskan pola pergerakan harian pekerja industri di kawasan-kawasan industri Cikarang.
Kata-kata Kunci: Pergerakan harian, suburbanisasi, dekonsentrasi pekerjaan, kawasan industri, Bekasi.
Pendahuluan
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pola perge- rakan harian pekerja industri di wilayah pinggiran met- ropolitan Jabodetabek. Kecenderungan pergerakan bekerja yang terjadi selama ini merupakan pergerakan yang terkonsentrasi ke kota inti Jakarta. Seiring terjadinya perkembangan dan perluasan kegiatan hingga ke luar kota inti Jakarta (Firman & Dharmapat- ni, 1995), diduga telah terjadi dekonsentrasi pekerjaan. Dekonsetrasi tersebut dapat ditunjukkan dari pola pergerakan harian yang dilakukan oleh pekerja.
Perkembangan kegiatan industri di wilayah pinggiran merupakan salah satu bentuk perkembangan kegiatan di wilayah metropolitan Jabodetabek. Perkembangan kegiatan industri di wilayah pinggiran metropolitan menyebabkan terjadinya indikasi dekonsentrasi peker- jaan (Ingram, 1998). Perkembangan kegiatan ini erat kaitannya dengan perubahan struktur wilayah yang diakibatkan oleh perubahan pola pergerakan. Perubahan ini dikenal dengan Daily Urban System (DUS) (Van Der Laan, 1998). Konsep ini pertama kali diterapkan untuk menjelaskan perubahan struktur spasial di Belanda. Konsep ini menggambarkan bahwa dalam suatu wilayah metropolitan terdiri dari 2 elemen utama yaitu kota inti dan wilayah pinggiran di sekitar kota inti tersebut. Dalam konsep ini pergerakan (commuting) merupakan komponen yang sangat penting.
Pergerakan yang terjadi dalam konsep DUS dibagi menjadi 4 tahapan pergerakan (lihat Gambar 1). Jenis pergerakan pertama yaitu pergerakan yang berorientasi menuju kota inti. Semua aktivitas dilakukan di kota inti, baik penduduk yang tinggal di dalam wilayah kota inti maupun wilayah pinggiran. Jenis pergerakan kedua dicirikan dengan pergeseran orientasi pergerakan menuju wilayah pinggiran. Selain itu, pergerakan sesa- ma wilayah pinggiran juga dilakukan. Hal ini disebab- kan oleh kejenuhan aktivitas kota inti yang menyebab- kan pergeseran aktivitas ke wilayah pinggiran. Jenis pergerakan tahap ketiga pergerakan yang sifatnya man- diri, artinya pergerakan kota inti hanya terjadi dalam kota inti itu sendiri dan jangkauan pergerakan yang terjadi di wilayah pinggiran juga hanya terjadi pada sesama wilayah pinggiran. Masing-masing wilayah fungsional cenderung memenuhi kebutuhan penduduk dan beraktivitas dalam wilayah fungsional itu sendiri. Jenis pergerakan keempat, terjadi pergeseran orientasi pergerakan yang sifatnya berkebalikan dari orientasi aktivitas yang hanya menuju kota inti. Dalam tahapan ini dapat dilihat bahwa sebagian aktivitas yang terjadi di wilayah pinggiran mulai dikembalikan ke kota inti, dan sebagian aktivitas di kota inti juga dilakukan di wilayah pinggiran. Hal ini memacu pola pergerakan yang sifatnya berkebalikan (reverse).
Aguilera, dkk. (2009) melihat tahapan akhir transfor- masi perkembangan wilayah metropolitan melalui indi- kasi pergerakan yang berbalik arah (reverse). Perge- rakan yang awalnya berorientasi menuju kota inti saat ini mulai bergeser ke wilayah pinggiran metropolitan dan cakupan pergerakan aktivitas juga terjadi dari wila- yah pinggiran ke kota inti. Pergerakan ini salah satunya didorong oleh aktivitas pekerjaan yang lokasinya be- rada di wilayah pinggiran dan kota inti. Aktivitas bekerja di wilayah pinggiran ini terbentuk seiring perkembangan fungsi mandiri perkotaan baru yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan penduduknya.
Gambar 1. Konsep
daily urban system
Sumber:
:Van Der Laan (1998)
Indikasi
dekonsentrasi juga terjadi di wilayah metro- politan Jabodetabek walaupun
kemungkinan yang terjadi belum semua pekerja industri bekerja di wilayah
pinggiran (Hudalah & Firman, 2012). Dalam kesehariannya, pekerja-pekerja
tersebut melakukan pergerakan harian dari tempat tinggal menuju lokasi
pekerjaan di wilayah pinggiran secara kontinu. Pola pergerakan harian
(commuting) pekerja ini dilihat dari dimensi spasial pergerakan harian
(Parnwell, 1993). Pergerakan yang diamati merupakan pergerakan beker- ja
pekerja industri karena pergerakan ini memiliki intensitas yang tinggi dan
rutin dilaksanakan. Perge- rakan bekerja juga merupakan salah satu indikator
untuk melihat stuktur spasial suatu wilayah metropoli- tan (Shon, 2005).
Wilayah pinggiran yang menjadi studi kasus adalah Kawasan Industri
di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Kabupaten Bekasi merupakan wilayah yang memiliki
kontribusi terbesar di bidang industri Kabupaten Bekasi, khususnya pada sektor
industri pengolahan, yaitu sebesar 78,21% ke total PDRB Kabupaten dengan laju
pertumbuhan 7,42% (BPS Kabupaten Bekasi, 2010). Perkembangan Industri di
Kabupaten Bekasi cukup pesat dengan didukung aksesibilitas dan sumber daya yang
memadai dalam kegiatan industri. Perkem- bangan industri di Kabupaten Bekasi
terpusat di Cika- rang dan sampai saat ini telah berdiri 7 kawasan indus- tri
besar yang telah berdiri lama dan beraglomerasi dalam suatu kawasan perkotaan.
Kawasan ini memiliki situasi yang kompleks dari perkembangan kegiatan di wilayah
pinggiran, yakni pengembangan kawasan- kawasan industri skala besar yang
disertai pengem- bangan fasilitas perkotaan dan permukiman beserta penyediaan
fasilitas sosial oleh perusahaan-perusahaan pengembang di sekitarnya (Hudalah
& Firman, 2012).
Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan karakteristik demografis
dan sosial ekonomi yang berkaitan dengan pola pergerakan harian pekerja
industri di Cikarang. Pola pergerakan harian yang dilakukan pekerja tidak
terlepas dari karakteristik pekerja itu sendiri (Pas, 1984). Faktor-faktor yang
mempengaruhi pola perge- rakan harian terdiri dari faktor sosial-demografis dan
ekonomi, seperti usia, jenis kelamin, asal daerah, status perkawinan,
pendidikan, jenis pekerjaan, ketersediaan fasilitas, dan jarak tempat tinggal
(Tammaru, 2005). Punping (1993) meneliti di Bangkok, Thailand bahwa usia, jenis
kelamin, jabatan, dan waktu yang dapat dihabiskan di lokasi tempat tinggal
memiliki hubungan dengan lokasi pekerjaan. Dia juga menambahkan bah- wa usia
dan status kepemilikan tempat tinggal memiliki keterkaitan dengan waktu untuk
melakukan perjalanan, dan jarak perjalanan berhubungan dengan jabatan dan
status kepemilikan tempat tinggal.
Clark, Huang, dan Withers (2003) lebih dalam melakukan studi yang
membuktikan bahwa wanita melakukan pergerakan harian dalam jarak yang lebih pendek dibandingkan dengan laki-laki. Dalam studi yang dilakukan
oleh Clark, Huang, dan Withers (2003), toleransi waktu perjalanan dan jarak
menjadi pertimbangan dalam memutuskan lokasi tempat tinggal dan lokasi
pekerjaan. Hal tersebut juga ditambahkan oleh Modarre (2011) yang menyatakan
perilaku pergerakan harian tidak hanya dipengaruhi oleh faktor sosial dan
demografis, tetapi juga dari lamanya aktivitas yang dilakukan di lokasi tujuan.
Ocakci (2000) menerangkan bahwa dalam aktivitas industri jenis
industri dan tingkat profesionalitas atau kedudukan pekerja turut mempengaruhi
pergerakan para pekerja industri. Hubungan lokasi tempat tinggal pekerja industri
beserta lokasi pekerjaannya dijelas- kan melalui variabel jarak, durasi
perjalanan dan moda transportasi yang digunakan oleh pekerja industri. Lee
(1966) memandang pergerakan atau perpindahan dipengaruhi oleh 4 faktor, yakni
faktor daerah asal, faktor daerah tujuan, faktor antara atau perjalanan, dan
faktor personal.Berdasarkan studi- studi tersebut, karakteristik sosial
demografi yang diteliti dalam kasus ini yaitu usia, jenis kelamin, sta- tus
perkawinan, asal daerah/suku, tingkat pendidikan, pendapatan, status milik dan
bentuk tempat tinggal, moda transportasi, jabatan, divisi, status dan lama
kerja.
Dalam tulisan ini, bagian-bagian selanjutnya akan dipaparkan
mengenai hipotesis pola pergerakan harian pekerja industri di Cikarang, data dan responden penelitian.
Setelah itu, akan dipaparkan hasil temuan dan analisis pola pergerakan harian
pekerja Industri. Bagian akhir tulisan ini berisi kes- impulan dan rekomendasi
berdasarkan hasil temuan dan analisis pola pergerakan dari responden yang
diperoleh.
Hipotesis Pola Pergerakan Harian Pekerja Industri di Cikarang
Beberapa dugaan pola pergerakan harian yang dilakukan
oleh pekerja industri dari lokasi tempat tinggal menuju lokasi pekerjaan dapat
dihipotesakan menjadi 5 pola, khususnya dalam cakupan wilayah metropolitan
Jabodetabek.Hipotesis tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1.
Pendefinisian ini dilakukan dengan cara menerapkan dan menyesuaikan
definisi tersebut ke dalam pemetaan spasial metropolitan hasil studi Maryono-
putri (2010). Definisi spasial tersebut mempertim- bangkan jangkauan pergerakan
dari skala yang kecil sampai skala metropolitan, dari pergerakan lokal dalam
kawasan industri di Cikarang hingga perge- rakan dalam dan luar wilayah
metropolitan Jabodetabek. Jenis pergerakan yang dibentuk ber- dasarkan Cikarang
dinilai sebagai lokasi pekerjaan dan wilayah metropolitan lainnya sebagai
lokasi tem- pat tinggal pekerja industri.
Dekonsentrasi pekerjaan pada masing-masing pola menunjukkan
interpretasi yang berbeda. Pola perge- rakan lokal dalam Kawasan Industri
Cikarang (Pola 1) menunjukkan adanya dualisme interpretasi terhadap
dekonsentrasi. Pergerakan ini memunculkan dugaan bahwa lokasi tempat tinggal
pekerja industri berada di sekitar kawasan perkotaan Cikarang. Status pekerja
tersebut kemungkinan merupakan penduduk asli setem- pat kawasan perkotaan
Cikarang dengan lokasi tempat tinggal berada di sekitar kawasan perkotaan Cikarang,
atau merupakan penduduk yang melakukan migrasi masuk dan menetap. Dugaan
lainnya yakni lokasi tem- pat tinggal berada di luar kawasan perkotaan Cikarang
dan melakukan migrasi temporal ke kawasan perkotaan Cikarang. Pola pergerakan
intradistrik dari Kabupaten Bekasi menuju kawasan industri Cikarang, atau
sebaliknya (Pola 2) menunjukkan dugaan yang sejenis dengan pergerakan lokal
kawasan perkotaan Cikarang (Pola 1). Status pekerja tersebut kemungkinan
merupa- kan penduduk asli setempat Kabupaten Bekasi atau merupakan penduduk
yang melakukan migrasi masuk dan menetap. Dugaan lainnya yakni lokasi tempat
ting- gal berada di Kabupaten Bekasi dan melakukan migrasi temporal ke kawasan
perkotaan Cikarang.
Pola pergerakan antardistrik dari kota Inti Jakarta dan perluasannya
menuju kawasan industri Cikarang (Pola 3) menunjukkan orientasi pergerakan bekerja mulai bergeser ke
wilayah pinggiran. Pola pergerakan antardistrik dari wilayah pinggiran lainnya
menuju kawasan industri Cikarang, atau sebaliknya (Pola 4) juga menunjukkan hal
yang demikian. Pola pergerakan antarregional dari luar wilayah metropolitan
menuju kawasan industri Cikarang (Pola 5) menunjukkan Cika- rang berfungsi
sebagai penarik migran dari luar.
Apabila hasil temuan menunjukkan pola pergerakan yang dilakukan oleh
pekerja industri hanya pola lokal, intradistrik, dan antarregional (Pola 1, 2,
dan 5), indi- kasi dekonsentrasi belum tentu terjadi. Fungsi Cikarang hanya
berperan sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi penduduk asli maupun
pendatang dan tidak memiliki kaitan langsung dengan dekonsentrasi dari Kota
inti Jakarta di wilayah metropolitan Jakarta. Apabila pola pergerakan yang
dilakukan oleh pekerja disertai dengan pola antardistrik baik dari kota Inti
Jakarta maupun wilayah pinggiran lainnya (Pola 3 dan 4), kemungkinan indikasi
dekonsentrasi telah terjadi karena orientasi pergerakan bekerja mulai bergeser
dari kota inti Jakarta maupun wilayah pinggiran lainnya menuju wilayah
pinggiran kawasan industri Cikarang.
Pergerakan antardistrik (Pola 3) merupakan responden pekerja yang
lokasi tempat tinggalnya berada di Kota Inti Jakarta dan kota-kota perluasannya
yang dalam studi ini ditemui pekerja yang berasal dari Kota Bekasi. Proporsi
responden yang melakukan pola pergerakan ini sebesar 6,9%. Pekerja yang
melakukan pergerakan antardistrik (Pola 4) merupakan pekerja yang tempat
tinggalnya berada di kabupaten pinggiran metropolitan, dalam hasil studi ini
pekerja tersebut berasal dari Kabupaten Bogor, yaitu sebesar 1,72%. Pekerja yang
melakukan pergerakan antarregional (Pola 5) merupakan pekerja yang lokasi
tempat tinggalnya berada di luar batasan metropolitan Jabodetabek, yakni
Kabupaten Kara- wang. Proporsinya pekerja yang melakukan pola pergerakan ini
sebesar 0,86%. Pekerja yang melakukan pergerakan antardistrik dan antarregional
cenderung memilih tinggal di lokasi tersebut, sebagi- an memiliki alasan agar
dekat dengan keluarga dan sebagian lagi dengan alasan fasilitas yang lebih
lengkap dibandingkan fasilitas yang tersedia di Kawasan Perkotaan Cikarang.
Pada Gambar 1 menunjukkan
bahwa lokasi tempat tinggal dan lokasi tempat bekerja pekerja, baik dalam
maupun luar metropolitan dihubungkan oleh infrastruktur jalan. Ketersediaan infrastruktur ini kemung- kinan juga
mendorong para pekerja bersedia melakukan perjalanan harian ke kawasan
perkotaan Cikarang sekalipun tempat tinggal mereka berada di kabupaten wilayah
pinggiran, atau bahkan di luar wilayah metropolitan Jabodetabek.
Pola pergerakan harian yang dilakukan pekerja mem- iliki
keterkaitan dengan karakteristik demografis dan sosial ekonomi pekerja itu
sendiri (Pas, 1984). Karak- teristik-karakteristik yang memiliki keterkaitan
dengan pola pergerakan pekerja adalah usia, status milik dan bentuk tempat
tinggal, jabatan dan status kerja (lihat Tabel
2).
Pola pergerakan lokal (Pola 1) cenderung dilakukan oleh pekerja
dengan rentang usia 15-44 tahun dengan proporsi terbesar berada pada rentang
usia 25-34 tahun. Hal demikian juga terjadi pada Pola perge- rakan intradistrik
(Pola 2) dan antardistrik antara kota inti dan Cikarang (Pola 3). Pola
pergerakan antardistrik antarwilayah pinggiran (Pola 4) cender- ung dilakukan
oleh pekerja dengan usia yang lebih tua dengan rentang usia 25-44 tahun. Pola
pergerakan antarregional antara wilayah pinggiran dengan wila- yah luar
metropolitan Jabodetabek (Pola 5) cender- ung dilakukan pekerja dengan usia
yang lebih tua dengan rentang usia 35-44 tahun. Hal ini menunjuk- kan Pekerja
usia muda cenderung mendekati lokasi pekerjaan di Cikarang dan kelompok usia
lebih tua cenderung bertempat tinggal di lokasi manapun.
Status tempat tinggal menentukan jarak dan jangkau- an perjalanan
seseorang (Punpuing, 1993). Pekerja yang melakukan Pola pergerakan lokal dan
intra- distrik (Pola 1 dan 2) tempat tinggalnya cenderung berbentuk kamar
(kost-kostan) dengan status semen- tara, baik menyewa atau menumpang pada
kerabat, walaupun juga ditemui pekerja dengan bentuk tempat tinggal rumah
tinggal dengan status milik sendiri. Berbeda dengan pekerja yang melakukan pola
perge- rakan antardistrik (Pola 3 dan 4) dan antarregional (Pola 5), tempat
tinggalnya cenderung hanya berbentuk rumah tinggal dengan status milik sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa pekerja dengan status tempat tinggal sementara
cenderung mendekati lokasi pekerjaan di Cikarang dan pekerja dengan status tem-
pat tinggal tetap bertempat tinggal di lokasi mana- pun.
Ocakci (2000) menjelaskan tingkat profesionalitas atau kedudukan
pekerja turut mempengaruhi perge- rakan para pekerja industri. Hal tersebut
juga terjadi pada pola pergerakan pekerja industri di Cikarang. Pola pergerakan
lokal dan intradistrik (Pola 1 dan 2) dilakukan pekerja dengan jabatan
operator, leader, foreman, dan supervisor dengan dominasi pekerja dengan
jabatan operator. Pola pergerakan antardistrik (Pola 3 dan 4) cenderung
dilakukan oleh pekerja dengan jabatan yang lebih tinggi, seperti foreman dan
supervisor, walaupun juga ditemui responden dengan jabatan operator. Pola
pergerakan antarregional (Pola 5) yang ditemui merupakan pekerja dengan jabatan operator. Hal ini
menunjukkan Pekerja dengan jabatan lebih tinggi melakukan pergerakan hampir
pada setiap pola, sedangkan pekerja dengan jabatan lebih rendah cenderung
melakukan pergerakan lokal dan pergerakan intradistrik, yang artinya lokasi
tem- pat tinggalnya mendekati lokasi tempat bekerja. Dari status kerja, pekerja
dengan status kontrak akan cenderung melakukan pola pergerakan lokal dan
intradistrik (Pola 1 dan 2). Pekerja dengan status tetap melakukan semua pola
pergerakan. Hal ini menunjukkan pekerja dengan status kerja yang masih
sementara cenderung melakukan pergerakan lokal dan pergerakan intradistrik,
yang artinya lokasi tem- pat tinggalnya mendekati lokasi tempat bekerja,
sedangkan pekerja dengan status kerja tetap cenderung melakukan pola pergerakan
dengan pola apapun.
Nilai Kontingensi Cramer pada Tabel 2 menunjuk- kan besar keterkaitan antara variabel
karakteristik pekerja dengan pola pergerakan harian pekerja. Nilai kontingensi
variabel-variabel yang memiliki keterkaitan dengan pola pergerakan cenderung
lebih tinggi dibandingkan variabel-variabel yang tidak memiliki keterkaitan
dengan pola pergerakan. Varia- bel yang tidak memiliki keterkaitan dengan pola
pergerakan adalah jenis kelamin, suku/asal daerah, status perkawinan, tingkat pendidikan, pendapatan, divisi dan lama
kerja. Dari jenis kelamin, responden yang ditemui sebagian besar merupakan
responden laki-laki sehingga tidak terbentuk pola yang terkait dengan
pergerakannya. Begitu pun yang terjadi pada suku/asal daerah. Pekerja industri
yang ditemui meru- pakan pekerja yang berasal dari daerah manapun di Indonesia.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pas (1984), pendapatan
dan status perkawinan pekerja industri di Cikarang tidak memiliki keterkaitan
dengan pola pergerakannya. Karakteristik keluarga di Cikarang yang cenderung
berpenghasilan tunggal dari kepala keluarga menjadi salah satu perbedaan dalam
status perkawinan. Selain itu, pendapatan juga tidak mencerminkan jabatan
pekerja karena pendapatan yang diterima pekerja cenderung bukan penghasilan
yang hanya diterima dari upah bekerja di perusahaan industri, tetapi juga dari
hasil sampingan, seperti berdagang. Divisi dan lama kerja tidak mencerminkan pola pergerakan karena sebagian
besar divisi pekerjaan adalah divisi produksi yang sesuai dengan karakteristik
industri di Cikarang yang meru- pakan komponen produksi dari perusahaan
industri. Lama kerja pun tidak mencerminkan pola pergerakan karena pekerja yang
bekerja sudah cukup lama tidak otomatis status kerjanya tetap.
Kesimpulan
Dalam konsep Daily Urban System (DUS) Van Der Laan
(1998), orientasi pergerakan dari kota inti dan wilayah pinggiran menuju
wilayah ping- giran lainnya dalam kasus yang terjadi di Cikarang menunjukkan:
1) Pola pergerakan
yang dihasilkan menunjukkan bahwaindikasi dekonsentrasi telah terjadi. Semua
pola pergerakan yang dihipotesakan terjadi dalam studi ini. Pola pergerakan
yang terbentuk tidak hanya pola pergerakan lokal, antardistrik, dan antar
regional, tetapi juga pergerakan antardistrik, baik yang dari kota inti maupun
antarwilayah pinggiran.
2) Cikarang tidak
hanya berperan sebagai tarikan bagi pendatang dari luar metropolitan dan
lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat, tetapi juga sebagai tarikan
pergerakan bagi pekerja yang berasal dari kota inti dan wilayah pinggiran
lainnya. Pergerakan yang berasal dari kota inti dan wilayah pinggiran lainnya
menuju Cikarang menunjukkan dekonsentrasi pergerakan bekerja ke wilayah
pinggiran telah terjadi. Hal ini menunjukkan orientasi perge- rakan bekerja
tidak lagi hanya menuju kota inti, tetapi mulai bergeser ke pusat-pusat
pekerjaan baru di wilayah pinggiran, khususnya kawasan industri.
3) Dengan terjadinya
dekonsentrasi di wilayah ping- giran, kawasan perkotaan Cikarang telah mampu
mengurangi beban kota Jakarta, khususnya dalam peran menciptakan lapangan
pekerjaan di sektor industri. Karakteristik demografis dan sosial ekonomi turut
menjadi penentu dalam menjelaskan pola pergerakan harian pekerja industri.
Dalam kasus di Cikarang, variabel usia, status dan bentuk tempat tinggal, serta
jabatan dan status kerja memiliki keterkaitan dengan pola pergerakan pekerja
industri. Pengetahuan mengenai karakteris- tik pekerja industri menjadi penting
dalam pertimbangan penyediaan infrastruktur bagi pekerja industri di wilayah pinggiran.
4) Studi ini tidak
dapat merepresentasikan populasi dari pekerja industri di wilayah pinggiran
karena kerangka sampel pekerja industri tidak bisa di- peroleh. Hasil studi ini
tidak dapat menggambarkan sejauh mana dekonsentrasi di wilayah pinggiran telah
terjadi. Penelitian ini hanya membuktikan indi- kasi terjadinya dekonsentrasi.
Wilayah studi hanya dibatasi pada kasus Cikarang saja dan tidak dilakukan untuk
skala metropolitan Jabodetabek secara keseluruhan. Penelitian ini cenderung
menun- jukkan dekonsentasi pekerjaan di bidang industri saja bukan
dekonsentrasi pekerjaan secara kese- luruhan karena objek penelitian ini adalah
pekerja industri. Oleh karena itu, isu yang dapat menjadi pertimbangan
penelitian selanjutnya dalam melihat gejala dekonsentrasi di wilayah pinggiran
adalah studi mengenai pergerakan atau mobilitas penduduk dan aktivitasnya di
wilayah pinggiran lainnya beserta faktor-faktor yang mempengaruhi perge- rakan
tersebut; studi perbandingan fenomena perge- rakan dan mobilitas pekerja
industri di wilayah pinggiran lainnya seperti kabupaten Tangerang atau
kabupaten lainnya yang memiliki kegiatan industri dengan perkembangan cukup
pesat; studi mobilitas pekerjaan di bidang selain industri di Kota inti Jakarta
dan wilayah pinggiran, seperti bidang perdagangan dan jasa; studi mengenai
dampak pergerakan pekerja dan penduduk di wilayah ping- giran metropolitan.
Komentar
Posting Komentar